Klinik Digital Vokasi UI Soroti 'Hoax' Saat Bencana Alam

Klinik Digital Vokasi UI Soroti 'Hoax' Saat Bencana Alam Ilustrasi jalur evakuasi saat bencana Tsunami. (Foto: Antara Foto).

DEPOK - Dosen sekaligus pendiri Klinik Digital Vokasi Universitas Indonesia (UI) Dr Devie Rahmawati menilai, tantangan bencana saat ini yang sering terlupakan adalah bagaimana hoax (berita palsu) menjadi ancaman "bencana" baru, ketika bencana alam terjadi di suatu daerah.

"Karena dampaknya yang membuat masyarakat menjadi tambah panik dan menjauh dari upaya bertahan hidup yang proporsional," kata Devie dalam pernyataan yang diterima di Depok, Jawa Barat, Senin (12/8).

Klinik Digital Vokasi UI memiliki program yang dimaksudkan untuk meningkatkan kompetensi masyarakat nusantara di era digital. 

Untuk itu, menurut Devie,  Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) & Klinik Digital Vokasi Humas UI melaksanakan kegiatan Pengmas bertajuk "Mitigasi Bencana. Terapi Kejiwaan Pascabencana" bersama lebih dari 250 peserta di empat komunitas yang berbeda.

Komunitas tersebut terdiri atas warga Desa Amerta Bhuana Bali, siswa SD Tawakal, orang tua murid SD Al Azhar Syifa Budi dan siswa kelas 1-3 SD Al Azhar Syifa Budi.

Kegiatan sosialisasi ini menghadirkan empat pembicara yaitu Amelita Lusia (Ketua Pengabdi Pengmas Vokasi), Devie Rahmawati (peneliti sosial Vokasi UI), Reska Herlambang (pengajar praktik Vokasi UI) dan Lusi Bulur (pemerhati komunikasi keluarga).
  
Kepala Desa Amerta Bhuana I Wayan Artha mengatakan, saat tidak terjadi bencana adalah saat yang tepat untuk menyosialisasikan apa yang harus dipersiapkan oleh masyarakat, ketika menghadapi bencana dan pascabencana.

"Kehadiran tim Vokasi Humas UI benar-benar membuka mata kami tentang banyak hal, khususnya trauma yang dialami oleh anak-anak pascabencana, yang sering kali tidak terlihat dalam wajah dan perilaku anak," kata Wayan.

Ketua Pengabdi Mitigasi Bencana Vokasi UI Amelita Lusia mengatakan, bahwa terkait tanggap bencana alam semua pihak harus memerhatikan persiapan mental dan moralitas, selain persiapan material.

"Oleh karenanya, di dalam keluarga, harus sering melakukan dialog tentang banyak hal di meja makan, termasuk perihal bencana, agar ketika kejadian luar biasa dan tiba-tiba seperti bencana, tidak lagi mengejutkan masyarakat, terutama anak-anak dan perempuan,” kata Amelita.

Sedangkan Reska Herlambang menilai, tak heran anak-anak menjadi yang paling menderita di dalam situasi bencana, karena menurutnya para orang tua tidak memperkuat diri mereka dengan pengetahuan.

"Orang tua banyak menghabiskan waktu dengan gadget dan sering termakan oleh hoax," tandas Reska. (Ant).