Peneliti: Konsumen Belum Paham Urgensi Perlindungan Data Pribadi

Peneliti: Konsumen Belum Paham Urgensi Perlindungan Data Pribadi Ilustrasi 'e-commerce'. (Image: Pixabay.com).

JAKARTA - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Ira Aprilianti, menyatakan perlindungan konsumen e-commerce di Tanah Air masih minim, padahal Indonesia dengan jumlah populasinya yang besar, merupakan pasar yang potensial untuk perkembangan industri ini.

"Permasalahan selanjutnya adalah awareness (kesadaran) di masyarakat dan juga upaya pemerintah yang masih minim. Masyarakat sebagai konsumen belum paham urgensi dari perlindungan data pribadi dan hak-hak mereka sebagai konsumen," kata Ira Aprilianti di Jakarta, Selasa (14/1).

Untuk itu, kata Ira, berbagai upaya pemerintah perlu ditingkatkan pula supaya bisa mendorong terciptanya kebijakan, yang mengedepankan prinsip perlindungan data pribadi konsumen.

Ia mengingatkan bahwa berdasarkan GlobalWebIndex, Indonesia merupakan negara dengan tingkat pengguna e-commerce terbesar di dunia, yaitu RI menghasilkan transaksi e-commerce sebesar 20,3 juta dolar AS pada 2018. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 3,3 juta dolar, kalau dibandingkan dengan 2017.

Sementara itu, McKinsey melaporkan, industri e-commerce di Indonesia akan tumbuh sepanjang 2017-2022 dan menghasilkan 20 juta dolar. Serta, mendukung 2-3 persen dari PDB Indonesia dan menyediakan sebanyak 26 juta lapangan pekerjaan.

"Ada beberapa persoalan yang berpotensi menghambat pertumbuhan perdagangan e-commerce di Indonesia. Yang pertama adalah belum adanya regulasi mengenai perlindungan data pribadi. Disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi sangat mendesak sebagai bentuk perlindungan kepada konsumen e-commerce," ucapnya.

Masih Ada Data Konsumen yang Disalahgunakan

Ira berpendapat bahwa penggunaan data pribadi dalam penyedia layanan e-commerce, kerap disalahgunakan dan diakses untuk kepentingan di luar transaksi yang penyedia platform lakukan. Dalam beberapa kasus yang berkaitan dengan perusahaan financial technology (fintech), data konsumen disebarluaskan dan diperjualbelikan tanpa seizin konsumen.

RUU ini, lanjut Ira, idealnya mengatur hak dan kewajiban antara penyedia layanan dengan konsumen. Tujuannya untuk memperjelas tujuan penggunaan data pribadi dan data apa saja yang boleh diakses oleh penyedia layanan, yang berhubungan dengan transaksi tersebut.

"Sayangnya saat ini pembahasan RUU ini masih tertunda karena harus menunggu selesainya pembahasan Omnibus Law," ujarnya.

Ira menambahkan, sebenarnya Indonesia saat ini sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. UU lain yang sudah berlaku adalah UU Nomor 19 Tahun 2016, yang merupakan amandemen dari UU Nomor 11 Tahun 2008.

PP ini sudah mengatur beberapa hal, di antaranya adalah mengenai larangan untuk membagikan dan menggunakan data konsumen ke pihak ketiga. Juga, aturan mengenai data apa saja yang boleh digunakan oleh penyedia layanan e-commerce.

Namun di dalamnya, ujar Ira, dinilai masih belum ada parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kinerja para penyedia layanan e-commerce, dalam mematuhi regulasi yang berlaku. (Ant).