Anis Matta: Poros Islam perlebar pembelahan politik

Anis Matta: Poros Islam perlebar pembelahan politik Sumber foto: twitter.com/partaigeloraid

Ketua Umum Partai Gelora Indonesia Anis Matta menolak ide koalisi poros Islam. Ada persoalan yang jauh lebih signifikan daripada sekadar ide poros Islam.

"Ide ini menurut saya hanya akan memperdalam pembelahan yang sedang terjadi di masyarakat," ungkap Anis. Pembentukan poros Islam dianggap hanya akan memperlebar pembelahan politik identitas di masyarakat pasca Pilpres 2019.

Anis Matta mengatakan hal itu dalam diskusi yang digelar Moya Institute bertajuk "Prospek Islam dalam Kontestasi 2024" secara daring, Jumat (7/5).

Anis melihat saat ini sedang dalam krisis sistemik yang terjadi secara global dan nasional. Krisis ini mengakibatkan keterbelahan di masyarakat.

Elite politik dari kelompok Islam (kanan), tengah maupun kiri sedang bingung menghadapi krisis ini.

"Di Indonesia sedang mengalami pembelahan ini dan menurut saya pembelahan ini satu fenomena yang menunjukkan elite kita sedang mengalami kebingungan akibat krisis sistemik ini. Kita alami krisis sistemik dan krisis leadership saya kira kebingungan ini ada di kelompok Islam, kelompok tengah, dan kelompok kiri," kata Anis.

Pembentukan poros Islam bukan sebuah solusi masalah ini. Anis menilai poros Islam bukan menyatukan tetapi justru akan membuat kelompok-kelompok kecil di masyarakat.

"Justru cara kita merespons dengan pembentukan poros Islam membuat kita masuk konfrontasi yang merusak rumah besar bangunan Indonesia," kata Anis.

Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Komaruddin Hidayat mengaku terkesan dengan visi yang disampaikan Anis Matta yang menyebutkan konsolidasi politik zaman kemerdekaan yang mengutamakan nasionalisme.

"Pertama saya sepakat, bagaimana mengembalikan saat semangat awal menuju Indonesia merdeka. Kemudian kenapa ada parpol Islam dan bukan parpol Islam, ada panggilan sejarah, sebagai satu kekuatan kritik, sebab ketika kritik itu bersama, maka akan lebih didengarkan. Saudara Anis Matta sudah bagus sekali, jadi harus ada narasi besar, kalau dulu ada merdeka, pembangunan, sekarang harus ada narasi baru dalam membawa arah baru Indonesia," ujar Prof Komarudin.

Perspektif berbeda disampaikan cendekiawan muslim Azyumardi Azra. Menurut dia, kalau faktor Islam menjadi masalah dalam kehidupan bernegara, ia kira sangat berlebihan. 

"Karena sekarang yang mengusung partai Islam hanya dua yaitu PKS dan PPP. Saya melihat dua partai Islam ini bagus. Saya tidak tahu Gelora ini berdasarkan Islam atau Pancasila. Tapi saya juga tidak melihat PKS dan PPP sebagai ancaman bagi bangsa," urainya.

Azyumardi menambahkan, koalisi berbasis Islam atau Pancasila peluangnya untuk bisa menang di pemilu tergantung kemampuan menangkap atau mengkapitalisasi masalah-masalah di masyarakat. 

"Banyak sekali masalah ekonomi, sosial, disrupsi tingkat lokal, nasional dan global. Jadi tdak bisa hanya bicara pada ideologi saja. Apakah Islam atau Pancasila," tambahnya.

"Kalau Partai Gelora bisa menangkap kesedihan, kepiluan di masyarakat dan bisa mengkapitalisasinya, saya kira Gelora akan bisa berbicara banyak di pemilu," imbuhnya.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas mengatakan, gambaran opini publik saat ini memang masih belum percaya deengan argumen yang diusung partai-partai berbasis massa Islam.

Hal itu kata Sirojudin tidak serta merta memunculkan alternatif fundamental bagi struktur kepartaian di Indonesia. Tahun 1999, ada 4 partai berbasis massa Islam: PKB, PAN, PK, PPP.

"Partai-partai berbasis massa Islam memiliki problem cukup besar di dengan konflik internal. Karena itu, kecenderungan suara partai Islam dari 1999-2014 menurun. Prospeknya seperti apa kalau melihat tantangan seperti ini? Hegemoninya terlihat di sini," paparnya.

Ia menilai, mayoritas pemilih Muslim Indonesia masih sejalan dengan tesis Cak Nur, Islam Yes, Partai Islam No. "Ini indikasi masih kuatnya karakter Islam Moderat Indonesia yang secara sadar menghindarkan diri dari tarikan politik berbasis agama."

Disampaikan Sirojudin, survei SMRC terhadap Partai Islam dan estimasi kekuatannya: Ada 25-35 persen yang mengatakan "yes" pada partai Islam, dan sebanyak 65-75 persen mengatakan "no".

"Saya setuju dengan risiko jika politik identitas dijadikan sebagai dasar solidaritas politik masyarakat Islam. Risiko kegagalannya juga besar karena ketidakpercayaan kepada partai-partai Islam," ungkapnya.

Sementara itu pengamat politik Imron Cotan menyampaikan, gagasan Ketum Partai Gelora Anis Matta menjadi alternatif baru bagi pemikiran politik di Indonesia. Hal itu kata dia melihat tesis, apakah pembentukan poros partai Islam memang untuk menyongsong kontestasi 2024, atau untuk menghimpun aspirasi kelompok Islam dalam kehidupan berbangsa ke depan.

"Kalau untuk sekadar menyongsong kontestasi 2024, saya kira akan kembali menemui kegagalan jika melihat dinamika yang ada saat ini," cetusnya.

Ia menganggap, kalau partai politik beraspirasi Islam dan kebangsaan tidak memanfaatkan krisis yang sedang berlangsung saat ini yaitu krisis kesehatan dan ekonomi baik regional dan global, serta tidak mampu mengusung pemimpin yang bisa memajukan umat Islam Indonesia, maka dijelaskan dia, cita-cita pembentukan poros Islam akan gagal.

"Kemudian, yang menguatkan tesis saya bahwa krisis itu akan melahirkan pemimpin alternatif, sudah ada bukti di Brazil. Sebenarnya Donald Trump muncul karena akibat ada krisis. Di Australia juga muncul pemimpin alternatif karena ada krisis," jelasnya.

Sekarang, sambung Imron, belum melihat ada pemimpin alternatif yang bisa diusung berdasarkan aspirasi dari pandangan keislaman.

"Kita juga harus berhati-hati, apakah di Indonesia akan muncul pemimpin dari faksi kanan ekstrem. Semoga saja tidak. Seperti yang disampaikan Anis Matta, jika poros Islam dibentuk ada potensi pemecah belahan bangsa yang semakin mendalam," tukasnya.