Capim KPK Tak Boleh Terpapar Radikalisme

Capim KPK Tak Boleh Terpapar Radikalisme Ketua Pansel KPK, Yenti Ganarsih (kedua kiri) bersama jajaran akademisi di Universitas Parahyangan, Jalan Ciumbileuit, Kota Bandung, Rabu (19/6/2019). (Foto: Antara Foto).

BANDUNG - Panitia Seleksi (Pansel) pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan untuk menerapkan syarat anti radikalisme, terhadap para calon pimpinan KPK sebagai antisipasi semakin merebaknya paham radikalisme.

Ketua Pansel KPK, Yenti Ganarsih mengatakan persyaratan anti radikalisme merupakan murni masukan dari seluruh anggota Pansel KPK.

Menurutnya, semua anggota telah setuju bahwa persyaratan ini penting diterapkan agar siapa pun komisioner yang ada di tubuh KPK tidak terpapar paham radikal.

"Ini masalah lama yang memang ada di Indonesia, dan kita harus menjaga keutuhan NKRI, Bhineka Tunggal Ika. Jangan sampai ada yang mengganggu keutuhan itu," kata Yenti di Universitas Parahyangan, Kota Bandung, Rabu (19/6).

Selain itu, lanjut Yenti, pihaknya sudah bertemu dengan komisioner KPK untuk memastikan bahwa apa yang selama ini ramai di media massa tidak seluruhnya benar.

"Kami berjaga-jaga dan berusaha agar tidak ada orang yang terpapar paham itu (radikalisme) jadi komisioner KPK. Dari 260 juta orang di Indonesia masa tidak ada lima orang yang baik. Kan kita hanya butuh lima saja," tanya Yenti.

Yenti juga menyebut radikalisme yang ada bisa saja berkaitan dengan kelompok tertentu. Kemudian paham tersebut menurutnya dapat merusak sistem KPK karena berafilasi, misalnya dengan kelompok radikal di luar negeri.

Dengan demikian, dia mengatakan syarat itu menjadi penting karena sebuah lembaga penegak hukum harus tegas kepada siapa pun termasuk orang dalam kelompok tertentu.

"Jadi semua yang salah harus ditindak, tapi harus terukur dan untuk tujuan keadilan bukan sekedar hukuman saja. Dengan demikian kita melakukan hal-hal itu," kata Yenti.

Sementara itu, Rektor Universitas Parahyangan Mangadar Situmorang berharap KPK harus berdiri netral dengan tidak disusupi identitas atau kelompok tertentu.

Apalagi, ujar Mangadar, akan lebih berbahaya jika banyak masyarakat yang memiliki identitas tertentu dan menganggap harus memperjuangkan nilai dari identitas itu.

"Perjuangan mereka kemudian akan berimplikasi pada relasi yang berdampak politis," katanya. (Ant).