Chairman JDN: Kesehatan Petugas Pemilu Perlu Diperhatikan

Chairman JDN: Kesehatan Petugas Pemilu Perlu Diperhatikan Chairman Junior Doctor Network of Indonesia (JDN Indonesia), dr. Andi Khomeini Takdir, Sp. PD. (Foto: Istimewa).

JAKARTA - Pemilu serentak 2019 telah usai. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan perolehan suara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, Pemilu serentak—pemilihan calon anggota legislatif (pileg) dan pemilihan presiden (pilpres)—yang dilakukan perdana sepanjang sejarah Indonesia menyisakan sejumlah masalah.

Salah satu yang paling membetot sorotan publik adalah banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal.

Hingga 15 Mei 2019, tercatat sebanyak 652 orang petugas pemilu meninggal. Baik KPPS, petugas Panwaslu maupun anggota Polri dan TNI. Dari jumlah itu, 527 orang di antaranya petugas KPPS. KPU dan Kementerian Kesehatan masih melakukan penelitian intensif, untuk mencari tahu apa sebenarnya penyebab kematian massal itu.

Yang pasti, Pemilu serentak kali ini bukan hanya rumit secara teknis, tapi juga melelahkan. Kerumitan teknis dan peluang kelelahan petugas pelaksana di lapangan sepertinya alpa dihitung oleh negara dan penyelenggara pemilu. Padahal, dalam Pemilu 2014 sudah ada data petunjuk: Sebanyak 144 orang petugas pemilu meninggal.

Ilustrasi petugas pemilu bekerja di Tempat Pemungutan Suara (TPS). (Foto: Antara Foto).

Menurut dr. Andi Khomeini Takdir, Sp.PD, karena pemilu serentak bukan hal asing bagi Indonesia, seyogyanya pemerintah memiliki manajemen kepemiluan. Seperti pada bencana, ada disaster plan. "Kalau di pemilu 2014 ada 144 petugas pemilu yang wafat, itu tidak sedikit. Terus apa yang kemudian dipersiapkan dari pihak penyedia layanan, pihak pelaksana pemilu untuk mencegah supaya petugas pemilu ini jangan jadi korban lagi,” tanya dr. Koko.

Bagi Chairman Junior Doctor Network of Indonesia (JDN Indonesia) itu, pengelolaan atau manajemen petugas medis perlu koordinasi antara negara dan organisasi profesi. Bagaimana negara mendesain manajemen kepemiluan yang baik.

Kepada Rina Suci Handayani dari JurnalJabar.id, 10 Mei 2019, pria yang biasa disapa dr. Koko itu menjelaskan kedudukan petugas medis dalam pemilu dan perbaikan yang diperlukan ke depan. Berikut petikannya:

Bagaimana Anda melihat Manajemen SDM Petugas Medis untuk pemilu? 

Pertanyaan tersebut diarahkan kepada pemerintah. Apa desain yang direncanakan (untuk SDM Petugas Medis)?

Bagaimana pandangan Anda tentang beban dan tekanan (stres) kerja petugas pemilu?

Bekerja merupakan kondisi seseorang akan mendapatkan tekanan atau stres secara psikis, apa pun pekerjaannya. Ada dua level tekanan secara psikis. Level pertama, tekanan dari pekerjaannya sendiri. Standarnya yaitu beban kerja, volume kerja dan waktu bekerja. Level kedua, stressor tambahan, misal (terkait petugas pemilu) timses komplain, caleg komplain.

Sudah terjadi pada pemilu lalu (2014), angka korban tidak kecil. Tapi kita tak mencari siapa yang salah. Kita mencari mana yang harus diperbaiki.

Sudah terjadi pada pemilu lalu (2014), angka korban tidak kecil. Tapi kita tak mencari siapa yang salah. Kita mencari mana yang harus diperbaiki.

 

Dari sisi jumlah korban meninggal, bagaimana Anda menilai peran petugas medis di Pemilu 2019?

Pemilu akan jauh lebih sukses jika angka korban menjadi lebih sedikit dibandingkan pemilu sebelumnya. Sudah ada parameter 144 petugas wafat di 2014. 

Petugas medis di Indonesia pada dasarnya akan dengan senang hati membantu dan mendukung kesuksesan pemilu. Indonesia memiliki sekitar 170 ribu dokter, terdiri dari dokter umum dan spesialis, yang sudah bersumpah untuk melindungi nyawa manusia sejak dalam pembuahan sampai akhir hidupnya. 

Kita tahu 2014 kan calonnya cuma dua dan friksinya kuat. Pada 2019 kandidatnya itu lagi. Jadi bisa dibayangkan petugas itu mendapatkan tekanan seperti apa.

Tekanan psikis yang berat dan bertubi-tubi akan sangat memengaruhi otak manusia. Tekanan besar bisa memengaruhi otak. Stressor juga bisa berlaku seperti itu di pekerjaan seperti petugas pemilu ini.

Tekanan psikis yang berat dan bertubi-tubi akan sangat memengaruhi otak manusia. Tekanan besar bisa memengaruhi otak. Stressor juga bisa berlaku seperti itu di pekerjaan seperti petugas pemilu ini. 

Apakah faktor usia berperan dominan sebagai penyebab kematian?

Faktor usia belum tentu memengaruhi atau menjadi penyebab kematian para petugas ini. Menurut medis, sebelum 60 tahun itu masih muda. Setahu saya, di Jepang angka lansia naik ke 75 tahun. Di Indonesia sempat ada ide menaikkan usia lansia jadi 65 tahun.

Jadi usia pensiun bertambah. Usia 60 tahun juga dilihat (kondisinya). Orang ini (60 tahun) masih jalan, masih kerja, masih dagang. Yang sakit-sakitan juga ada, tapi yang sakit-sakitan tidak ditunjuk jadi petugas pemilu kan. Yang dipilih yang masih aktif dan bugar.

Pada dasarnya tidak perlu menanamkan satu mind set khusus kepada petugas medis tentang pentingnya nyawa manusia, karena hal ini telah tertanam sejak kuliah. Cuma para petugas medis ini, menurut saya, tidak termenej. Ini yang harus diperhatikan. 

Jadi, sebetulnya apa yang terjadi pada Pemilu 2019?

Ini juga jadi pertanyaan saya. Kalau menurut UU Ketenagakerjaaan orang bekerja kan delapan jam sehari. Artinya, desain itu tinggal diterapkan.

Kemenkes menempuh autopsi verbal untuk mengungkap apa yang terjadi. Apa ini cukup?

Memang harus ditanyakan ke dokter forensik apakah harus autopsi atau tidak. Menurut saya, autopsi verbal tidak menentukan penyebab kematian, karena tidak mungkin ambil kesimpulan dengan autopsi verbal. Banyak hal yang harus ditanyakan, kompleks, detil. 

Sempat viral berita mereka meninggal karena diracun. Tanggapan Anda?

Saya tidak setuju, mana buktinya? Sudah diperiksa apanya? Kalau sudah periksa darah dan ada buktinya baru keluarkan pernyataan. Atau jejak makanan dan minuman dia, periksa kulit, rambut. Tapi itu wilayah forensik, bukan saya.

Petugas medis tengan mengecek tekanan darah petugas pemilu. (Foto: Antara Foto).

Komunitas Kesehatan Peduli Bangsa (KKPB) mendesak dilakukan autopsi pada petugas yang meninggal. Menurut Anda?

Saya setuju. Namun, autopsi di Indonesia jadi satu tantangan tersendiri, mengingat prosedur autopsi di Indonesia mengutamakan kerelaan keluarga korban. Autopsi forensik atau autopsi klinis sangat penting karena dengan ini penyebab kematian akan terkuak. Sehingga siklusnya bisa dihentikan agar tak ada lagi korban jiwa. 

Bagaimana harapan Anda dan perbaikan ke depan agar hal ini tak terulang?

Indonesia telah memiliki sistem yang baik untuk mengelola pemilu, termasuk prosedur dan pengelolaan untuk petugas medisnya. Ini ada acara, ada 1000 peserta, siapkan berapa orang petugas medisnya. Sudah biasa 2.500 orang harus di-cover dengan satu petugas medis. Ini sangat lazim. 

Kami berharap pemilu nanti korbannya nol ya. Zero. Nyawa manusia lho ini. Tidak ada korban jiwa. Okelah kalau ada yang sakit, tapi tidak ada korban jiwa.