CSIS Sangsi 500 Petugas Pemilu Meninggal Diracun

CSIS Sangsi 500 Petugas Pemilu Meninggal Diracun Direktur Eksekutif CSIS, Philip J. Vermonte. (Foto: Twitter/@pjvermonte)

BANDUNG - Ketua Perhimpunan Survei dan Opini Publik Indonesia (Persepi), Philip J. Vermonte, gerah dengan tudingan petugas Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 yang meninggal karena diracun. Apalagi, dengan motif pencurian suara.

"Sungguh keterlaluan," tulisnya dalam sebuah unggahan di akun Facebooknya, Philip Vermonte, Jumat (10/5), pukul 14.36.

Dirinya lantas mengulas Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Aplikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memublikasikan dan mengetahui raihan suara kontestan pemilu oleh publik. Dengan begitu, proses rekapitulasi berlangsung transparan.

Seluruh dokumen C-1, hasil perolehan suara di tempat pencoblosan, yang telah dipindai juga terpampang dalam situs web KPU. Semua bisa memeriksa. Termasuk melaporkannya, jika terdapat kekeliruan.

"Jadi, logikanya di mana kalau KPU secara sistematis mencurangi? Kalau mau curang, tidak ada itu KPU membuka akses untuk publik melihat," tulisnya lagi.

Pentolan wadah pemikir Centre for Strategic and International Studies (CSIS) ini berpandangan, kecurangan justru berpeluang dilakukan para calon legislatif (caleg). Mereka tersebar di mana-mana. Bisa fokus di tempat pemungutan suara (TPS) daerah pemilihannya (dapil).

"Capres mau mencurangi TPS seperti menggarami air laut. Ingat ada 813 ribu TPS di seluruh Indonesia. Ngurus satu TPS aja sudah ada yang kelahi," ucapnya.

Philip juga berpendapat, meracuni 500-an petugas pemilu nirguna. Dicontohkannya dengan kalkulasi sederhana. Per TPS melayani 300 pemilih. Bila seluruh korban bertugas di lokasi berbeda, kemungkinan terbesar kecurangan berdampak terhadap 150 ribu suara.

"Orang gila mana yang mau meracun 500 orang hanya untuk 150 ribu suara? Jumlah pemilih kita yang terdaftar itu ada 190-an juta orang, wahai Bapak dan Ibu sekalian. Dengan turnout sekitar 81 persen menurut quick count, berarti jumlah suara adalah sekitar 154 juta suara. Jadi, ya, Bapak dan Ibu sekalian: 150 ribu suara itu secara jumlah bisa diabaikan," ulasnya.

Dia mengingatkan, sekitar 144 petugas pemilu meninggal pada 2014. Lima tahun berselang berlipat ganda. Tugas mereka lebih berat. Menghitung lima surat suara. Harus rampung menghitung 24 jam pula.

"Saya kasih tahu ya, waktu kami quick count di hari itu, bahkan hingga pukul 11 malam, belum 100 persen data dari TPS sample kami yang masuk. Artinya, di lapangan masih ada banyak TPS belum selesai penghitungan. Padahal, quick count hanya untuk surat suara pilpres dan pileg DPR," ungkapnya.

Menurut Philip, petugas kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) kemungkinan tak tidur sejak sehari prapungut suara, 16 April. Mereka mesti mendirikan tenda, merampungkan masalah administrasi, dan sebagainya. Pun usai pencoblosan, diharuskan menghitung suara.

"You, saya, dan kita, habis nyoblos, pulang dulu. Ngadem, makan, minum, tidur. Mereka stay on di TPS. Jadi, mempolitisasi meninggalnya para pahlawan pemilu ini sangat keterlaluan. Make sure your brain is in gear when you are engaging your mouth," paparnya.

Philip mengakui ada kecurangan di TPS. Namun, taksignifikan. Sekadar di 2.000 hingga 4.000 TPS. Dus, takmengubah apa-apa. Pangkalnya, ada 813 ribu titik pencoblosan se-Nusantara.

"Tentu saja, sama seperti Anda semua, saya sangat ingin melihat pemilu yang 100 persen bersih. Saya sudah kasih warning di awal, bahwa beberapa kalimat saya akan politically incorrect. Mohon dimaafkan," tutup dia.