DPR Sepakati RUU HPP Jadi Undang-Undang

DPR Sepakati RUU HPP Jadi Undang-Undang Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar memimpin Rapat Paripurna (Foto: Tangkapan layar YouTube DPR RI)

Jakarta, Jurnal Jabar – Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi Undang-Undang (UU), Kamis (7/10). Wakil Ketua DPR, Muhaimin Iskandar, memimpin Rapat Paripurna penetapan UU HPP.

“Apakah RUU tentang HPP dapat disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang?,” kata Muhaimin kepada anggota dalam rapat, dilansir dari YouTube DPR RI.

Anggota rapat serentak menjawab setuju. 

“Setuju,” jawab anggota rapat paripurna.

Dalam RUU tersebut, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengatur beberapa hal terkait perpajakan. Salah satunya program pengampunan pajak mulai 1 Januari 2022 mendatang.

Dengan program tersebut, wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat penyataan kepada negara.

Nentinya, setiap wajib pajak dapat mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan sepanjang direktur jenderal pajak belum menemukan data atau informasi mengenai harta yang dimaksud.

Harta bersih yang dimaksud tersebut adalah nilai harta dikurangi dengan nilai utang. Hal itu seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.

Harta yang dilaporkan merupakan aset yang diperoleh wajib pajak sejak 1 Januari 1985 sampai 31 Desember 2015. Nantinya, harta bersih itu akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan pajak penghasilan (PPh) final.

PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Tarif itu terdiri dari 6 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA) atau sektor energi baru terbarukan (EBT), serta surat berharga negara (SBN).

Sebanyak 8 persen atas harta bersih yang berada di dalam negeri dan tidak diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN. Selanjutnya, 6 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan bahwa akan dialihkan ke dalam wilayah Indonesia serta diinvestasikan untuk sektor SDA, EBT, dan SBN.

Sementara, 8 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dengan ketentuan dialihkan ke Indonesia, tetapi tak diinvestasikan ke sektor SDA, EBT, dan SBN. Kemudian, 11 persen atas harta bersih yang berada di luar Indonesia dan tak dialihkan ke Indonesia.

Kemudian, pemerintah juga akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) ke beberapa barang dan jasa yang sebelumnya dibebaskan dari pajak. Salah satunya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak yakni sembako.

Lebih lanjut, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengerek tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen. Hal ini berlaku mulai 1 April 2022.

Namun, pemerintah masih membuka opsi bahwa penetapan tarif PPN sebesar 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada 2025 bisa diubah ke skema rentang tarif.

Rentangnya, yaitu paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.