'E-commerce' Permudah Pemasaran Produk Daerah Tertinggal

'E-commerce' Permudah Pemasaran Produk Daerah Tertinggal Direktur Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Dirjen PDT) Samsul Widodo setelah berbicara tentang peran 'e-commerce' dalam pemasaran produk dari daerah tertinggal, pada acara Pasar idEA di Jakarta Convention Center, Jumat (16/8/2019). (Foto: Rina Suci).

JAKARTA - Mendengar kata ‘daerah tertinggal’ mungkin menimbulkan kesan pesimistis di benak orang awam. Namun, bagi Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Tertinggal (Ditjen PDT) Kemendes PDTT, kesan yang timbul justru sebaliknya. 

Direktur Jenderal (Dirjen) PDT Samsul Widodo dengan optimistis mengungkapkan, potensi dan sumber daya di daerah tertinggal justru potensial dikembangkan. Sayangnya belum banyak diketahui dan tereksplorasi. Hal tersebut ia sampaikan ketika berbicara di salah satu sesi workshop Pasar idEA di Jakarta Convention Center, pada Jumat (16/8) petang.

Pasar idEA adalah sebuah acara pameran 'Online to Offline' (O2O), di mana berbagai pihak pelaku e-commerce di Indonesia dapat menyosialisasikan programnya, serta memberikan pelanggan beragam promo dan sale besar-besaran. Acara ini diselenggarakan idEA (Asosiasi E-commerce Indonesia) bersama dengan Traya Indonesia di Jakarta Convention Center, mulai dari tanggal 15 hingga 18 Agustus 2019.

Terkait potensi dan sumber daya di daerah tertinggal, menurut Dodo panggilan akrabnya, jika potensi dan sumber daya itu dikelola dengan optimal, hasilnya bukan hanya mampu memenuhi standar nasional, tapi juga global. Namun, ia memberi catatan, itu akan tercapai dengan adanya pendampingan dari pihak yang kompeten.
 
Selain itu, pemasaran berbagai produk unggulan desa dan daerah tertinggal dapat dipermudah, dengan adanya sistem perdagangan elektronik atau yang dikenal dengan sebutan e-commerce. Dengan adanya e-commerce maka para pengrajin, petani, nelayan, peternak, dan produsen lainnya dapat menjual produk mereka tanpa perlu bertemu langsung dengan para pembeli. Sehingga produk yang dijual dapat dipasarkan baik nasional maupun internasional.

Dodo memaparkan tentang peran e-commerce dalam menembus pasar global. Ia ungkapkan, Ditjen PDT menggunakan dua saluran untuk membantu penjualan berbagai produk dari daerah tertinggal menembus pasar global.

“Ada dua channel yang digunakan, yakni, startup dan satu lagi kami datangkan buyer-nya (pembeli). Kami juga bekerja sama dengan ATT (Alibaba). Produk yang kami ekspor yaitu rajungan dari Kendari dan vanila dari Alor. Ini yang kami fasilitasi karena ini yang kami dampingi. Kami sediakan gudang juga kerja sama dengan pemda. Berikutnya (kacang) kenari dari Alor dan Pulau Makiyan di Maluku Utara,” jelas Dodo. 

 

Dirjen PDT Samsul Widodo (kedua dari kiri) dan para pembicara di 'workshop' Pasar idEA, mengenai peran 'e-commerce' untuk ekspor produk lokal, Jumat (16/8/2019). (Foto: Rina Suci).

 

Pria berkacamata ini juga menjelaskan, Ditjen PDT berfokus pada berbagai produk yang berkarakteristik unik, misalnya kacang kenari. Kebutuhan kenari di pasar Eropa cukup besar, karena kenari merupakan salah satu bahan pembuatan kue yang dibutuhkan di sana. 

Namun, memiliki sumber daya alam saja tidak cukup untuk mengembangkan daerah tertinggal, sebab masih ada masalah yang ia rasa cukup besar yang harus dicarikan jalan ke luar, yaitu masalah logistik dan kurasi produk. 

Ia mencontohkan, dengan mudahnya orang Indonesia menemukan jeruk mandarin di pedagang kaki lima, tapi agak susah menemukan jeruk pontianak. “Kenapa sih di kaki lima kita banyak yang jual jeruk mandarin, kenapa tidak jual jeruk pontianak?” kata Dodo berusaha menyederhanakan gambaran masalah. 

Ia menjelaskan bahwa akarnya adalah persoalan logistik, di mana salah satunya adalah ketiadaan akses untuk petani mengangkut hasil kebun dengan efisien. “Itu semua adalah persoalan logistik, kami dengan Kementerian Pertanian mengembangkan kontainer sebesar tiga ton, yang ukurannya tiga feet (kaki) agar bisa masuk ke desa-desa. Jadi ini yang harus dipikirkan dan diselesaikan,” ungkap Dodo. 

Menurutnya, basis logistik yang andal dan praktis akan membantu semua pihak untuk mendapatkan produk terbaik, dengan disparitas harga minim. Sehingga berbagai produk dari desa bisa sampai ke konsumen dengan harga masih relatif terjangkau. Dengan kata lain, harus ada upaya memotong mata rantai logistik yang terlalu panjang dan berbelit, agar petani atau nelayan terbantu mendistribusikan produknya.

Selain itu, Dodo juga menggarisbawahi persoalan kurasi produk yang masih menemui hambatan. Padahal, proses kurasi adalah satu tahap yang sangat penting, sebelum sebuah produk bisa dianggap layak jual atau ekspor. 

“Saya berharap teman-teman di startup dan marketplace tak hanya menunggu teman-teman UKM on boarding. Kami siap untuk garap bareng, mulai dari kurasi, dan lain-lain, karena pemerintah tidak bisa kerja sendiri,” harap Dodo. 

Pada akhirnya, Dodo merangkum pihaknya bertugas membangun sebuah ekosistem untuk mempertemukan startup dengan para petani. Ia tak segan untuk ‘turun gunung’ menyampaikan presentasi, kepada para bupati tentang keunggulan pemasaran digital atau e-commerce ini. 

“Kami buktikan dulu bahwa dengan model online ini bisa lebih cepat, dan rata-rata mereka terkejut dan tidak pernah membayangkan bisa seperti ini. Setiap kesempatan, kalau ada pemerintah daerah ke Jakarta, saya selalu minta waktu mereka selama 1,5 jam. Kadang saya undang Bukalapak, Shopee, siapa pun yang available untuk memberi materi mengenai digital literasi, dengan begitu mereka kebuka pikirannya tentang ini,” ungkap Dodo. 

Persoalan logistik ini juga diamini Head of Government Relations Shopee Indonesia Radityo Triatmojo. Ia berkisah pernah bersama Dodo mengunjungi Sorong di Provinsi Papua Barat dan menemukan masalah logistik tersebut. “Memang ada masalah logistik, di Sorong saja cuma seminggu sekali ada pengiriman barang,” kata Radityo Triatmojo.