Kritik DTKS, Fraksi PKB DPRD Jabar: Kami Duga Pemprov Jabar Gunakan Data Lama

Kritik DTKS, Fraksi PKB DPRD Jabar: Kami Duga Pemprov Jabar Gunakan Data Lama Anggota Fraksi PKB DPRD Jawa Barat (Jabar), Johan J Anwari. (Foto: Istimewa).

BANDUNG - Anggota Fraksi PKB DPRD Jawa Barat (Jabar), Johan J Anwari, mengkritik Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) calon penerima bantuan sosial (bansos), bagi warga terdampak COVID-19 di Provinsi Jawa Barat (Jabar).

"Kami menduga Pemprov Jawa Barat menggunakan data lama calon penerima bantuan tunai dan nontunai bagi masyarakat terdampak wabah virus corona tersebut," kata Johan J Anwari, Kamis (16/4).

Sebelumnya, Plt Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Provinsi Jabar, Ferry Sofwan Arif, menjelaskan bantuan tunai dan pangan nontunai dari Pemerintah Provinsi Jabar senilai Rp500 ribu. Ini diberikan kepada warga terdampak COVID-19 terdiri dari kelompok A yang belum menerima bantuan dari pemerintah pusat, serta sembilan sektor dalam Kelompok B dan C.

Para penerima bansos dari Pemda Provinsi Jabar ini, untuk selanjutnya disebut sebagai Keluarga Rumah Tangga Sasaran (KRTS).

"Penerima bansos ada 2.348.298 KRTS berdasarkan hasil validasi Dinas Sosial," kata Ferry.

Sementara, Johan mengatakan sejak awal pihaknya berulangkali mengingatkan Pemprov Jabar melalui Gugus Tugas Penanggulangan COVID-19, untuk melakukan pendataan hingga verifikasi data calon penerima bantuan itu dengan serius, jangan sampai salah sasaran.

"Intinya DTKS tahun berapa itu dasarnya. Karena seharusnya dipetakan khusus kepada krisis kesehatan masyarakat yang terdampak COVID-19. Tidak bisa data lama dijadikan sandaran data calon penerima bantuan gubernur ini," kata Johan.

Ia mencontohkan, ditemukan jumlah calon penerima bantuan yang tidak rasional di Kabupaten Ciamis, Kuningan, Kota Banjar dan Kabupaten Pangandaran.

Data calon penerima ini, tiba-tiba muncul tanpa adanya proses pendataan dan verifikasi data di lapangan, yang dikhususkan untuk bantuan sosial bencana COVID-19.

"Pihak desa hanya menerima kuota calon penerima dari dinsos lalu pihak desa membagikan kuota tersebut ke dusun-dusun. Entah karena bingung atau karena ketakutan atau karena terdesak oleh deadline dan atau tergesa-gesa, akhirnya kuota tersebut dibagikan secara merata tidak berdasarkan pendataan dan verifikasi data," kata Johan.

Menurutnya, dana untuk pendistribusiannya yang hampir menghabiskan anggaran Rp200 miliar itu, sangatlah disayangkan seharusnya bisa lebih diefisienkan dengan melibatkan pendamping anggaran, dari gugus tugas di daerahnya masing-masing.

"Apa tidak bisa lebih diefisienkan dengan melibatkan pendamping anggaran dari gugus tugas kabupaten/kota sampai gugus tugas tingkat desa," katanya. (Ant).