MPR Akan Buka Diskusi Publik Serap Aspirasi Soal GBHN

MPR Akan Buka Diskusi Publik Serap Aspirasi Soal GBHN Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (kanan) menerima plakat dari Rektor IPB University, Prof. Dr. Arif Satria usai menjadi pembicara utama pada Seminar Nasional "Pelemik Menghidupkan Kembali GBHN" di Auditorium Andi Hakim Nasution, Kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Kamis (31/10/2019). (Foto&keterangan: Antara).

BOGOR - MPR RI akan membuka diskusi publik seluas-luasnya, untuk menyerap aspirasi masyarakat dari berbagai lapisan dalam menyikapi usulan menghidupkan kembali garis besar haluan negara (GBHN), dan amandemen UUD NRI 1945.

"MPR RI akan membuka diskusi publik seluas-luasnya selama dua hingga tiga tahun mendatang," kata Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, dalam pidatonya sebagai pembicara utama pada Seminar Nasional: "Polemik Menghadirkan Kembali GBHN" di Auditorium Andi Hakim Nasution, Kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Kamis (31/10).

Menurut Bambang Soesatyo, ketika dirinya terpilih sebagai Ketua MPR RI periode 2019-2024, pada 4 Oktober lalu, Pimpinan MPR RI menerima tujuh poin rekomendasi dari pimpinan MPR RI periode 2014-2019.

Salah satu dari tujuh poin rekomendasi itu adalah rekomendasi untuk melaksanakan amandemen UUD NRI 1945 secara terbatas. 

"Apakah saya akan melaksanakan rekomendasi itu. Jawabannya ya. Namun, pimpinan MPR RI akan membuka diskusi publik seluas-luasnya untuk menyerap aspirasi masyarakat, selama sekitar 2-3 tahun ke depan," kata Bambang Soesatyo yang akrab disapa Bamsoet.

Menurutnya, diskusi publik itu akan dilakukan pada seluruh lapisan masyarakat, baik lembaga pemerintah terkait, perguruan tinggi, lembaga profesi, ormas, maupun lembaga lainnya. "Salah satunya adalah forum rektor," kata Bamsoet.

Ia menjelaskan, UUD 1945 sudah diamandemen sebanyak empat kali pada tahun 2002-20024, untuk menyempurnakan sistem ketatanegaraan dan mengakomodasi semangat reformasi. Tapi pada amandemen itu menghapus adanya GBHN.

Dari amandemen itu, kata Bamsoet, telah melahirkan beberapa lembaga negara. Serta mengubah posisi MPR RI dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara.

Dalam perjalanannya, muncul beberapa aspirasi masyarakat dalam menyikapi arah pembangunan nasional yang dinilai berjalan di tempat. Pasalnya, setelah GBHN dihapus, arah pembangunan nasional ditentukan berdasarkan visi-misi calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) terpilih, yang kemudian diubah menjadi rencana pembangunan jangka menengah (RPJP).

Menurutnya, visi misi presiden-wakil presiden ini dinilai tidak berkesinambungan dengan presiden-wakil presiden sebelumnya. "Bahkan, visi misi kepala daerah saat kampanye juga berbeda-beda, baik antarkepala daerah, maupun antara kepala daerah dengan presiden. Kondisi ini yang dinilai sebagai arah pembangunan nasional berjalan di tempat," katanya.

Dalam perjalanannya, menurut Bamsoet, muncul beberapa aspirasi masyarakat. Usulan reformulasi arah pembangunan negara, memunculkan usulan menghidupkan kembali GBHN.

Usulan tersebut, pertama, amandemen terbatas UUD NRI 1945. Kedua, usulan penyempurnaan amandemen UUD NRI 1945. Ketiga, usulan amandemen UUD NRI 1945 secara menyeluruh. Keempat, usulan kembali ke UUD 1945.Kemudian, usulan kelima, tidak perlu amandemen UUD NRI 1945.

"Dari kelima aspirasi masyarakat tersebut, prioritasnya adalah menghidupkan kembali GBHN," kata Bamsoet. (Ant).