Pakar Psikologi: Kampanye Pilpres Hanya Diwarnai Perang Jargon

Pakar Psikologi: Kampanye Pilpres Hanya Diwarnai Perang Jargon Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk. (Foto: Ist)

JAKARTA - Pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menilai kampanye Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 masih diwarnai perang jargon selama dua bulan terakhir. Sementara, terkait gagasan atau program belum terlihat seutuhnya.

Dia menilai, alternatif kebijakan yang ditawarkan pasangan calon (paslon) Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin belum mewarnai masa kampanye. Sementara, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno lebih sering mengkritik hal yang tidak sesuai fakta. 

Perang jargon tersebut antara lain tempe setipis kartu ATM, politik sontoloyo, dan wajah Boyolali. Hamdi pun menilai kedua pasangan calon tersebut tidak ada bedanya dalam konten kampanye.

"Kampanye yang ditampilkan masing-masing pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tidak substantif. Hanya jargon-jargon politik padahal seharusnya diisi dengan adu program dan gagasan berbasis data akurat," kata Hamdi di Jakarta, Jumat (16/11).

"Pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu satu-satunya yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara keduanya dari sisi program," ujarnya.

Menurutnya, dalam demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas. Alhasil, memungkinkan untuk melegitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politik.

Seharusnya, kubu penantang harus deligitimasi petahana dengan mengkritik, menyanggah dan berargumen terkait kebijakan yang dijalankan pemerintah. "Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat," tuturnya.

Hamdi menduga, kampanye yang dilakukan dalam pilpres tidak menggunakan metode deligitmasi politik yang mengkritik lawan politik, termasuk berdebat terkait visi misi dan program. Dia menilai, politik deligitimasi itu terhormat, namun apabila mengkritisi kebijakan dengan data palsu, maka menjadi tidak elok. 

Misalnya, kubu penantang mengklaim 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan. Akan tetapi, hal tersebut dibantah Bank Dunia.

"Lalu akhirnya delegitimasi gagal karena datanya hoaks. Akhirnya menyerang karakter calon dengan data hoaks seperti tuduhan PKI," ujarnya.

Dia menilai dalam kampanye politik, adu retorika dan jargon merupakan hal yang biasa. Namun, dirinya menyarankan agar jargon yang dilontarkan para pasaangan calon harus mendidik masyarakat. Mengingat, semua orang menginginkan politik Indonesia bermartabat. (Ant)