Peneliti Harap Pemimpin Daerah Tingkatkan Kemampuan Komunikasi Digital

Peneliti Harap Pemimpin Daerah Tingkatkan Kemampuan Komunikasi Digital Image: Pixabay.com

DEPOK - Kepala Program Studi Vokasi Humas Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menilai lemahnya media massa dan dunia pendidikan memberikan kontribusi, terhadap penyebaran pemikiran radikal yang terjadi di masyarakat.

"Karakter sosiologis masyarakat kita yang patron-klien, membuat kelompok masyarakat kita masih melihat patron sebagai 'kiblat' dalam kehidupan mereka, termasuk dalam aktivitas komunikasi," katanya di Depok, Jumat (15/11).

Ia mengatakan bahwa studi global menunjukkan, bahwa salah satu situasi yang mendorong berita hoax (palsu) dengan mudah menjangkiti publik, ialah karena media-media arus utama justru tidak se-agresif “warga”, dalam melakukan diseminasi informasi.

Hal itu,menurut Devie, tidak terlepas dari dinamika yang kompleks dari jurnalis di media arus utama.

Sedangkan dari hasil pendalaman yang dilakukan peneliti Studi Vokasi Humas UI selama satu tahun, ditemukan bahwa penyebaran ajaran radikal justru sangat memerhatikan teknik-teknik komunikasi persuasif, yang nyaris tidak diajarkan dan diabaikan oleh kurikulum.

"Ini bermula dari ketidakmampuan menyusun pendidikan yang kritis dan harmonis di dalam masyarakat," kata Devie.

Saring sebelum 'Sharing'

Oleh karenanya, kata dia, upaya untuk melakukan peningkatan pengetahuan dan ketrampilan komunikasi bagi para pemimpin di daerah, melalui rembuk aparatur kelurahan dan desa tentang literasi informasi, melalui forum kordinasi pencegahan terorisme "Saring Sebelum Sharing", bidang media massa, hukum dan humas, merupakan aktivitas strategis.

Devie yang juga pegiat aktivitas klinik digital tersebut, mengatakan bahwa Anna Krueger dari First Draft Australia menyampaikan bahwa saat ini internet telah menjadi ajang perang propaganda. Itu terbukti dalam konteks perilaku teroris di dunia.

Mereka menggunakan berbagai saluran komunikasi, untuk mengirimkan pesan teror dan propaganda berbagai ideologi radikal mereka ke berbagai kalangan. Mereka bahkan cukup terlatih dan produktif, untuk memproduksi pesan melalui video, vlog dan sebagainya.

"Ketika aparatur daerah dengan sumber daya kekuasaan dan jaringan di daerah tidak mampu memproduksi, menangkal dan mendistribusikan informasi-informasi yang bermutu dan relevan bagi kebaikan masyarakat, maka tidak heran bila masyarakat dengan mudah terpolarisasi dengan berbagai isu yang ada," kata Devie, yang juga pengajar tamu di Universiti Malaya, Malaysia.

Ia menjelaskan bahwa kegiatan pengabdian masyarakat aktivitas Klinik Digital, dilakukan di berbagai daerah oleh pihaknya terkait literasi informasi digital.

Kegiatan terakhir dilakukan di Takengon, Provinsi Aceh dengan tema "Saring Sebelum Sharing" 2019. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian aktivitas sebelumnya  di Palu, Pekanbaru, Medan, Yogyakarta, dan Takengon.

Kegiatan di Aceh ini menghadirkan Kasubdit Pengamanan Objek Vital dan Transportasi BNPT, Wahyu Herawan; Pengabdi Pengmas Vokasi Humas, Devie Rahmawati; Kabid Media Massa, Hukum dan Humas FKPT, Arif Ramdan, yang dihadiri oleh 100 peserta yang terdiri atas aparatur kelurahan dan desa di Aceh Tengah.

"Kegiatan yang sudah berlangsung di lima kota ini, dengan sistematis berupaya mengingatkan elit tentang bahaya hoax yang terus membayang-bayangi keutuhan sosial masyarakat," katanya.

Tidak hanya itu, mereka melatih para aparatur pemerintahan dan media, untuk memiliki kepercayaan diri tampil di publik yang menjadi sasaran kegiatan ini.

Hal itu disebabkan karena kemampuan membangun narasi secara "offline", seperti "public speaking" dan secara online melalui media konvensional dan media sosial, sering kali diabaikan oleh banyak pihak, demikian penjelasan Devie. (Ant).