PTM Dinilai Ancam Keselamatan Anak-anak

PTM Dinilai Ancam Keselamatan Anak-anak Siswa SD mencuci tangan sebelum mengikuti PTM (Foto: Fakhri Hermansyah)

Jakarta, Jurnal Jabar - Koalisi Selamatkan Anak Indonesia menilai pembelajaran tatap muka (PTM) mengancam keselamatan anak-anak, salah satunya disebabkan pelanggaran protokol kesehatan (Prokes). Koalisi mendapati 167 aduan terverifikasi tentang pelanggaran Prokes rentang Januari - September 2021, tertinggi di SD dengan 31,6% dan SMA 27%. 

"Fasilitas seperti hand sanitizer atau untuk cuci tangan pun tidak ada, hanya ada di kamar mandi. Jam pelajaran juga setiap hari, praktik olahraga, memasak sama sekali tanpa protokol Covid-19, dan siswa juga diminta untuk berangkat sekolah dari Senin sampai Jumat tanpa adanya pemberitahuan pembagian sif," kata relawan LaporCovid-19, Natasha Devanand Dhanwani, Minggu (3/10), dilansir dari laman alinea.id.

Natasha memberi contoh, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Jabar), terdapat sekolah yang tidak mematuhi Prokes karena meja tidak disekat, keran air di beberapa titik mati, bahkan hand sanitizer hanya ada di beberapa tempat saja.

Faktor berikutnya, tingkat vaksinasi untuk pelajar usia 12-17 tahun masih kecil. Hingga 2 Oktober 2021, baru 14,71% pelajar yang menerima dosis pertama dan 9,98% di antaranya telah menerima dua kali suntikan. 

Selain itu, rasio vaksinasi bagi tenaga pendidik dosis pertama baru 62,18% dan dosis lengkap 38%. 

"Pelaksanaan PTM juga memiliki risiko terinfeksi, terutama pada anak-anak di bawah 12 tahun yang belum diperbolehkan untuk vaksin," tegas Natasha.

Hal tersebut, menurut Natasha, menunjukkan fatalnya pelaksanaan PTM. Pangkalnya, terjadi kegagalan mitigasi Covid-19 dan ketidaksiapan sekolah dalam menyediakan prasarana penunjang.

Sementara itu, Perwakilan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menambahkan, PTM belum siap dilaksanakan secara nasional karena sekitar 217.324 dari total 541.324 sekolah (44,45%) belum mengisi data kesiapan melaksanakan PTM per 3 Oktober 2021.

“Sebagai contoh di DKI Jakarta, untuk persiapan PTM hanya mengisi modul secara online dan ini kemudian tidak ada verifikasi secara langsung di lapangan. Tentu saja ini meningkatkan risiko penularan Covid-19 atau kita menyebut klaster sekolah," tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Charlie Albajili, menilai terjadi pengabaian negara untuk menjamin kualitas kesehatan tertinggi anak dan warga sekolah dalam PTM.

“Pemerintah mengenyampingkan pertimbangan epidemologis, seperti vaksinasi dan angka rata-rata positif; data epidemiologis yang (dipakai) tidak sahih sebagai dasar kebijakan; buruknya keterbukaan informasi terkait data-data esensial kepada orang tua; serta asumsi urgensi PTM segera prematur; dan penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten," pungkasnya.