Kegiatan belajar mengajar di salah satu sekolah. Foto ussfeed.com/

P2G Tolak Kebijakan Gubernur Jabar Soal 50 Siswa Per Kelas

P2G Tolak Kebijakan Gubernur Jabar Soal 50 Siswa Per Kelas: "Seperti Penjara & Bertentangan Aturan!"

Kondisi kelas dan sekolah yang melebihi kapasitas akan mengganggu kesehatan mental anak dan guru.

Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) terkait Pencegahan Anak Putus Sekolah mendapat sorotan tajam dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G). Meskipun memahami niat baik gubernur, P2G menilai kebijakan menampung 50 anak dalam satu kelas di SMA/SMK justru akan berdampak negatif dan kontraproduktif bagi guru dan siswa, baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial.

Kelas 50 Siswa: Tidak Efektif dan Berisiko Tinggi

Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri, menegaskan, target 50 anak per kelas sangat tidak efektif dan berpotensi mengganggu kualitas pembelajaran.

"Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja," terang Iman dalam keterangan resminya.

Menurut Iman, beberapa risiko yang akan muncul antara lain: kelas menjadi pengap, suara guru tidak terdengar jelas, suasana tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru terbatas, sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru kesulitan mengontrol kelas.

Bertentangan dengan Permendikbudristek & Solusi Instan

P2G juga menyoroti bahwa aturan Gubernur Jabar ini jelas bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan Belajar, yang menyatakan maksimal 36 siswa per kelas untuk SMA/MA/SMK/MAK.

Iman menambahkan, kebijakan ini tidak akan menyelesaikan akar masalah anak putus sekolah di Jawa Barat yang berjumlah sekitar 658 ribu.

"Memasukkan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," lanjutnya.

Pencegahan anak putus sekolah seharusnya berprinsip pada kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran, dan ketepatan sasaran, seperti kondisi sekolah, ketersediaan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas, sesuai Permendikbudristek Nomor 32 Tahun 2022.

Faktor Lain Penyebab Anak Putus Sekolah & Perlunya Sinergi

Iman juga menjelaskan, tidak semua anak putus sekolah disebabkan karena tidak tertampung di sekolah negeri. Ada faktor lain seperti pernikahan dini, anak berkonflik dengan hukum, menjadi pekerja anak, dan faktor kemiskinan.

P2G mengusulkan agar Gubernur KDM mempertimbangkan untuk memasukkan anak putus sekolah ke madrasah negeri dan swasta, atau pendidikan nonformal/sekolah rakyat yang didanai penuh oleh negara. Sebagai contoh, anak dari keluarga miskin ekstrem bisa masuk sekolah rakyat yang dikelola Kementerian Sosial, menciptakan kesinambungan program pusat dan daerah.

P2G mendesak agar Gubernur Jawa Barat mengharmoniskan kebijakannya dengan kebijakan pendidikan pemerintah pusat.

"Sangat disayangkan jika kedua program dengan tujuan mulia, berjalan sendiri-sendiri, atau malah tumpang tindih," ujar Iman. Ia menilai beberapa kebijakan KDM, seperti mengirim anak nakal ke barak tentara, belum bersinergi dengan Kemdikdasmen.

Ancaman Terhadap Kesehatan Mental dan Sekolah Swasta

Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim menambahkan, kondisi kelas dan sekolah yang melebihi kapasitas akan mengganggu kesehatan mental anak dan guru. Selain itu, status siswa yang masuk di luar kuota resmi (Dapodik) menjadi tidak jelas, berisiko mereka tidak mendapatkan ijazah.

"P2G khawatir murid-murid ini tidak akan dapat ijazah. Bisa dianggap sebagai siswa ilegal di kelas dan tentu merugikan hak-hak dasar anak dalam mendapatkan pendidikan," terang Satriwan.

Dampak serius lainnya adalah potensi ancaman bagi sekolah SMA/SMK swasta. Kebijakan ini dapat menyebabkan murid menumpuk di sekolah negeri, membuat sekolah swasta kekurangan siswa dan terancam bubar. Hal ini akan mengakibatkan hilangnya pekerjaan bagi para guru swasta. P2G telah menerima laporan dari SMA/SMK swasta di Jawa Barat yang merasakan penurunan signifikan jumlah calon murid, bahkan ada yang hanya menerima belasan pendaftar.

"Fakta bahwa SMA/SMK swasta di Jabar sepi peminat sudah terjadi 5 tahun terakhir, tetapi malah diperparah oleh kebijakan Gubernur Jabar ini," kata Satriwan. Ia menilai kebijakan ini hanya fokus pada penurunan angka putus sekolah tanpa memikirkan dampak jangka panjang.

4 Solusi Konkret dari P2G untuk Pemprov Jabar:

P2G menawarkan empat solusi jangka panjang untuk pencegahan anak putus sekolah:

1. Menambah Ruang Kelas atau Rombongan Belajar: Gubernur KDM harus menambah fasilitas di SMA/SMK.

2. Membangun Unit Sekolah Baru (USB): Dengan syarat mutlak mempertimbangkan eksistensi, sebaran, dan keberlanjutan sekolah swasta di sekitar.

3. Melibatkan Sekolah Swasta dalam "Skema SPMB Bersama": P2G mendesak Gubernur KDM untuk melibatkan SMA/SMK/MA swasta dalam skema pendaftaran bersama untuk menampung anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri karena keterbatasan kuota. Ini juga bisa diwujudkan melalui penambahan beasiswa pendidikan dan program bantuan biaya pendidikan lainnya, serupa dengan model Pemprov DKI Jakarta sejak 2018. Skema ini menghormati peran pendidikan swasta.

4. Mewujudkan Sekolah Gratis Berkualitas: P2G mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk menghitung ulang anggaran APBN dan APBD guna mewujudkan sekolah gratis berkualitas bagi masyarakat, sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

"Jangan sampai kebijakan Gubernur Jabar KDM ini 'membunuh' pelan-pelan sekolah swasta, yang selama ini sudah berjuang bersama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa," pungkas Satriwan.

Komentar