Banyak Dinikmati Masyarakat Mampu, BBM Subsidi Salahi Prinsip Keadilan

Banyak Dinikmati Masyarakat Mampu, BBM Subsidi Salahi Prinsip Keadilan Petugas SPBU sedang mengisi BBM bagi kendaraan di jalur khusus. ANTARA/HO-Pertamina Jatimbalinusra

Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Berly Martawardaya menilai pemanfaatan BBM bersubsidi selama ini tidak sesuai prinsip keadailan. Kebijakan pemerintah mensubsidi harga BBM untuk membantu masyarakat tidak mampu. Namun fakta di lapangan tidak demikian.

"Konsumsi BBM didominasi oleh masyarakat mampu, di mana 80% pertalite dan 95% solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu sehinga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," kata Berly.

Berly menyampaikan hal itu merespons keputusan pemerintah menyesuaikan harga BBM. Menurut dia, ada beberapa faktor yang menyebabkan pemerintah harus membuat penyesuaian harga BBM. Pemulihan ekonomi setelah Covid-19 reda dan invasi Rusia ke Ukraina mendorong kenaikan harga minyak dunia sehingga melebihi USD100 per barel sejak Mei 2022. 

Kompensasi yang dianggarkan di APBN 2022 sebesar Rp18,5 triliun tidak cukup untuk menjaga harga solar dan pertalite. Melalui Perpres 98/2022, alokasinya pun ditambah menjadi Rp252,4 triliun. Namun ternyata masih tidak mencukupi sehingga diperkirakan perlu tambahan anggaran untuk subsidi BBM sebesar Rp195,6 T sampai akhir tahun 2022.

"Anggaran kompensasi BBM sebesar Rp448,1 triliun mendekati 15% dari APBN 2022 alias melebihi semua katagori belanja lain kecuali pendidikan. Padahal dari tiga fungsi APBN yaitu stabilisasi, distribusi dan alokasi, maka tidak tepat bila fungsi stabilitasi, dalam konteks ini harga solar dan pertalite ketika harga minyak global meroket, mengalahkan dua fungsi lainnya," ujar Berly.

Berly yang sehari-hari juga aktif sebagai dosen FEB Universitas Indonesia menyatakan bahwa ekonomi adalah ilmu memilih dari banyak opsi yang tidak sempurna dan ada dampak negatifnya. Tantangan bagi pemerintah dan policy maker adalah mencari dan mengambil opsi yang paling sedikit dampak negatif (least worse). 

"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4% dan terjadi deflasi 0,2% di bulan Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," katanya.

Berly mengatakan, bantuan sosial selama pandemi yang masih jauh dari sempurna menurut kajian BPS perlu diperbaiki di penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM 2022, di mana data masyarakat miskin dan rentan terakhir diperbarui dengan sensus terbatas nasional tahun 2015. Sambil pemerintah menyalurkan BLT BBM tahap pertama, perlu evaluasi akurasi dan kecukupannya untuk diumumkan ke publik dan diperbaiki di tahap kedua. 

"BLT adalah pelampung bagi warga yang miskin dan rentan dalam kapal ekonomi Indonesia yang sedang menghadapi badai sehingga tetap mengapung dan tidak terbenam sehingga perlu tepat sasaran," ujar Birly.

Berly juga menambahkan bahwa realokasi subsidi BBM secara historis akan meningkatkan inflasi khususnya di sembako dan makanan. Sehingga kenaikan harga transportasi publik perlu di hitung seksama secara supaya tidak terlalu tinggi dan melebihi kenaikan biaya operasi terlalu tinggi. Formula kenaikan Upah minimum Regional (UMP) di PP No 36/2021 juga perlu direvisi sehingga setidaknya setara dengan inflasi untuk melindungi daya beli pekerja. 

"Nelayan yang dalam proses mencari ikan menggunakan solar, perlu perlindungan dan bantuan khusus sehingga tidak kehilangan mata pencariannya," katanya.

Berly menutup paparannya dengan meminta pemerintah menjadikan realokasi subsidi BBM sebagai bagian kebijakan sistematis menuju ekonomi hijau dengan meningkatkan insentif untuk energi terbarukan, perbaikan transportasi publik di wilayah urban dan perlunya ditetapkan kerja dan kuliah dari rumah setidaknya 40% atau dua hari seminggu untuk mengurangi penggunaan BBM dan emisi karbon dalam jangka menengah.