Langkah Strategis Kemendagri: Perkuat Peran Pemda Kawal MBG
Langkah Strategis Kemendagri: Perkuat Peran Pemda Kawal Program MBG
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian, menegaskan pentingnya peran pemerintah daerah (Pemda) dalam menyukseskan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia meminta Pemda aktif mengoptimalkan dinas kesehatan untuk mencegah insiden keracunan makanan.
Menurut Tito, dinas kesehatan bersama pihak terkait dapat melakukan rapat internal untuk membahas proses bisnis MBG, menata mekanisme pengecekan makanan, hingga menerbitkan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS).
“Sebelum makanan dihidangkan, ada pengecekan berlapis. Mulai dari dapur oleh ahli gizi dan dinas kesehatan, hingga di sekolah oleh Unit Kesehatan Sekolah (UKS) yang dikoordinasikan Dinas Pendidikan di bawah kepala daerah,” ujar Tito dalam rapat internal, dalam keterangan resminya, Selasa (1/10).
Pengamat politik dari Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) Darmawan Purba menilai, keterlibatan penuh Pemda menjadi kunci memperbaiki manajemen MBG.
Menurutnya, selama ini pengawasan dapur MBG yang dikoordinasikan Badan Gizi Nasional (BGN) masih menyisakan celah. Tanpa dukungan Pemda, rantai pengawasan berjalan timpang dan respons terhadap masalah menjadi lambat.
“Pemda punya instrumen yang lebih dekat dengan masyarakat, seperti sekolah, komite orang tua, Posyandu, hingga kader PKK. Pengalaman saat pandemi Covid-19 membuktikan bahwa Pemda mampu bergerak cepat ketika diberi mandat yang jelas,” jelas Darmawan.
Meski begitu, Darmawan menegaskan, kewenangan saja tidak cukup. Pemerintah pusat perlu mendukung peningkatan kapasitas SDM agar standar higienitas MBG bisa seragam di seluruh daerah.
Data Kementerian Kesehatan per 22 September 2025 menunjukkan dari 8.583 dapur MBG di Indonesia, baru 34 dapur yang memiliki SLHS. Padahal, sertifikat ini menjadi syarat vital untuk memastikan keamanan pangan olahan maupun siap saji.
Dengan dukungan SDM dan kewenangan yang kuat, program MBG tidak hanya menjadi proyek distribusi gizi, tetapi juga bisa berkembang menjadi ekosistem pengelolaan gizi yang partisipatif.
“Pemda perlu menggandeng sekolah, guru, komite orang tua, PKK, Karang Taruna, hingga UMKM lokal penyedia bahan baku. Model ini membuat pengawasan bukan sekadar administratif, tapi juga moral dengan rasa tanggung jawab bersama,” kata Darmawan.
Darmawan menekankan, desentralisasi kewenangan harus disertai partisipasi aktif masyarakat. Dengan begitu, MBG bukan hanya proyek pemerintah pusat, melainkan gerakan kolektif yang melibatkan semua pihak.
“Jika Pemda diberi kewenangan penuh, SLHS diterapkan menyeluruh, dan masyarakat terlibat aktif, MBG bisa keluar dari krisis manajemen dan membangun kepercayaan publik,” tutup Darmawan.
Komentar