DPR Minta Bank Indonesia Tunda Pemberlakuan Biaya Layanan QRIS
Jakarta, Jurnal Jabar – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bidang Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Korkesra), Abdul Muhaimin Iskandar, meminta Bank Indonesia (BI) menunda pemberlakuan biaya layanan QRIS bagi Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) sebesar 0,3%.
Muhaimin mengatakan, meski biaya layanan itu dibebankan kepada PJP, namun tidak menutup kemungkinan bakal juga berdampak kepada pelaku usaha terutama UMKM serta para konsumen.
"Saya minta Bank Indonesia menunda pengenaan biaya transaksi QRIS 0,3% untuk mikro. Kembalikan lagi seperti semula (0%). Kalau ini tetap diberlakukan saya kira semua akan kena dampak, bukan cuma penyedia jasa, tapi pelaku usaha, UMKM, sampai konsumen juga pasti kena imbas," kata Muhaimin dalam keterangan resminya, dikutip dari portal media Kemenkominfi, infopublik.id, Senin (10/7).
Menurut Muhaimin, biaya layanan yang dibebankan pada layanan QRIS juga dapat menghambat transaksi non tunai. Padahal transaksi non tunai yang sedang digencarkan saat ini punya efektivitas dan efisiensi yang tinggi dibanding model transaksi tunai.
“Dampaknya juga tentu ke transaksi non tunai, padahal ini kan lebih efektif dan efisien dibanding sistem pembayaran tunai. Belum lagi sekarang pelaku UMKM ini kan baru mulai bangkit pasca pandemi, janganlah dibebani dulu," tutur politisi Partai Kebangkitan Bangsa tersebut.
Lebih lanjut, Muhaimin menegaskan kebijakan biaya layanan QRIS yang diinisiasi BI sebaiknya ditunda agar tidak menjadi preseden buruk bagi pertumbuhan ekonomi.
"Jadi saya tegaskan sebaiknya ditunda dulu (pemberlakuan biaya layanan QRIS). Ini ibarat kita mau naik motor biar cepat sampai, tapi ekor motornya diikat ke pohon. Ya enggak jalan," sambung Gus Imin.
Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) memberlakukan biaya layanan QRIS bagi PJP sebesar 0,3% yang mulai berlaku sejak 1 Juli 2023. BI sebelumnya menetapkan ketentuan MDR QRIS bagi merchant UMKM jadi nol persen. Kebijakan itu berlaku hingga akhir Desember 2021 dan diperpanjang sampai 31 Desember 2022, kemudian dilonggarkan kembali sampai 30 Juni 2023.