Lipsus: Analisis Manajemen Komunikasi untuk Pemilu

Lipsus: Analisis Manajemen Komunikasi untuk  Pemilu Eman Sulaeman Nasim pengamat dan pengajar bidang komunikasi. (Foto: Rina Suci )

WARGA sebuah perumahan di Jakarta Selatan menyambut pemilu 17 April 2019 dengan antusias dan gembira. Mereka berlomba-lomba menyiapkan makanan untuk sesama warga yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), maupun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bahkan hingga tengah malam pun suplai makanan masih ada, sehingga rasa capek dan lelah sebagai petugas KPPS teralihkan ke rasa gembira.

Tapi sayangnya tidak semua TPS di Indonesia merasakan hal sama seperti petugas KPPS di perumahan tersebut rasakan. Berdasarkan data per 04 Mei 2019 dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan sudah lebih dari 400 petugas yang meninggal dan ribuan yang terpaksa mendapatkan perawatan kesehatan baik di rumah sakit maupun klinik kesehatan. 

Banyak pihak mempertanyakan apa sebetulnya yang terjadi sehingga banyak sekali petugas KPPS dan aparat yang wafat. Tapi redaksi tidak akan membahas hal tersebut karena itu menjadi ranah bagi yang memiliki kapasitas untuk menyelidikinya baik dari sisi hukum, medis, maupun psikologi. 

Pada liputan khusus ini, Jurnal Jabar hendak melihat pemilu dari sisi lain, yaitu sisi manajemen komunikasi untuk pemilu. Redaksi menemui Eman Sulaeman Nasim, pengamat dan analis komunikasi yang juga berprofesi sebagai dosen komunikasi, hubungan masyarakat (humas), administrasi publik di Universitas Indonesia, Institut STIAMI di Jakarta, dan Politeknik Keuangan Negara (PKN) STAN.

Fondasi manajemen komunikasi untuk pemilu

Eman membuka analisisnya dengan menyebutkan bahwa manajemen komunikasi pemilu harus dimulai dengan fondasi keterbukaan dan transparansi dari KPU, KPU Daerah (KPUD), KPU Kabupaten/Kota, aparat kecamatan dan kelurahan. Menurutnya ini adalah fondasi paling mendasar yang dibutuhkan sebelum mengelola komunikasi lebih jauh lagi dan sebelum berinteraksi dengan para petugas KPPS.

Manajemen komunikasi pemilu harus dimulai dengan fondasi keterbukaan dan transparansi dari KPU, KPU Daerah (KPUD), KPU Kabupaten/Kota, aparat kecamatan dan kelurahan.

"KPU wajib menjaga dan dijaga integritas serta mentalitasnya. KPU melaksanakan tugas negara, bagaimana agar penyelenggaraan pemilu baik presiden maupun caleg, baik DPR pusat, DPD, DPR provinsi, maupun DPRD Kabupaten berjalan lancar. Oleh sebab itu KPU harus netral, obyektif, dan jujur," rinci Eman. 

Ia menjelaskan bahwa nilai-nilai tersebut bukan sekadar jargon, tetapi menjadi panduan yang harus dipegang teguh oleh KPU agar proses sosialisasi akan berjalan dengan efektif dan efisien. Sehingga KPU pusat sampai KPU kabupaten/kota dapat membangun keterbukaan.

"Supaya petugas KPPS bisa keluarin unek-unek, apa yang mereka inginkan, apa yang tidak mereka inginkan," kata alumni Fisip Universitas Indonesia yang pernah menjadi petugas KPPS pada tahun 2004 dan 2009 ini.

Berdasarkan pengalaman Eman saat menjadi petugas KPPS, ia akui bahwa saat itu ia tidak mendapatkan briefing sama sekali dari KPU Kota/Kabupaten. Padahal, ia mengingat, beban kerja para petugas KPPS memang berat. "Saya pernah jadi petugas KPPS. Berat itu kerjanya, kita tidak ada briefing, cuma menjalankan tugas. Beratnya sangat terasa oleh para ketua karena mereka harus melakukan rekapitulasi. Suara yang masuk berapa, hasilnya berapa, itu harus. Kemudian kalau ada kerusakan berapa, abstain berapa, yang golput," papar Eman yang tahun 2019 ini juga diminta menjadi petugas KPPS tapi tidak bisa karena memiliki tugas lain.

Mengelola komunikasi untuk sebuah perhelatan nasional seperti pemilu memang tidaklah mudah, sebab ada banyak informasi yang harus disampaikan dan dipahamkan secara bertahap dan berjenjang. Tetapi menurut Eman, pengelolaan komunikasi justru dimulai dari penanaman nilai-nilai dan mindset, bukan memulainya dari hal-hal teknis. 

"Justru memulainya harus dari value atau nilai-nilai yaitu kejujuran, integritas, obyektivitas. Itu yang harus dikedepanankan dalam manajemen komunikasi," tegas Eman. Eman menampik bahwa fondasi tersebut sifatnya klise atau kuno, menurutnya kemajuan teknologi adalah sebuah medium yang bisa mempercepat waktu berkomunikasi. Tetapi fondasi manajemen komunikasi itu sendiri adalah kumpulan nilai-nilai yang menjadi pijakan dalam membuat konten komunikasi sebelum disebarkan melalui medium komunikasi.

Kesiapan SDM Indonesia dalam keterlibatan di manajemen komunikasi untuk pemilu

Pemilu 2019 ini bukanlah pemilu yang pertama, menurut Eman pada dasarnya sumber daya manusia (SDM) di Indonesia siap berkontribusi sebagai petugas KPPS. Eman menyebutkan ada beberapa karakteristik orang Indonesia yang sangat menguntungkan KPU yaitu ramah, mudah bergaul, pekerja keras, dan patuh terhadap peraturan yang berlaku. 

"Berdasarkan analisis saya yang pernah jadi petugas KPPS, pada dasarnya masyarakat kita itu adalah masyarakat yang nrimo dan mengikuti instruksi dari atas. Jadi pola-pola komunikasi yang akan diterapkan oleh KPU itu mereka menerima. Cuma ini kan ada isu kecurangan, ini harus dikaitkan antara isu kecurangan dengan pemilihan serempak, dan banyaknya mereka yang meninggal. Menurut saya tidak bisa dipisahkan, apakah faktor meninggal itu karena kelelahan saja, atau stress. Kalau memang stres, nah kenapa stresnya? Kalau soal pekerjaan pemilu dan perhitungan suara itu bukan hal baru bagi kami yang pernah jadi petugas," jelasnya mempertanyakan.

Lepas dari itu, menurut Eman kunci komunikator dalam pemilu adalah KPU. Ia menjelaskan bahwa KPU memegang peranan utama untuk membuat alur komunikasi menjadi efektif dan efisien. Eman juga memandang sangat penting KPU-Daerah (KPUD) membuat satu rutinitas pertemuan dengan KPPS untuk sosialisasi tentang pemilu.

Ia juga menjelaskan bahwa seyogianya KPPS dibentuk minimal setahun sebelum pemilu, agar pengelolaan komunikasi bukan hanya rutin tetapi intensif. "KPU itulah yang harus rutin bertemu dengan para petugas KPPS-nya. Mungkin ke depannya adalah ini KPPS jangan dibubarin, tapi tetap dibina sampai datangnya pemilu berikutnya. Kalau ada pembaharuan anggota, ya warga yang baru itu dibina juga. Kan yang koordinir Ketua RT dan kelurahan. Harusnya KPU tingkat kota/kabupaten bertemu dengan mereka. Seperti itu. Sebab pengalaman saya sebagai anggota KPPS ya setelah pemilu udah bubar," ungkap Eman menyayangkan.

Hambatan komunikasi

Menurut Eman, hambatan komunikasi pasti akan terjadi tetapi pada dasarnya hambatan itu tidak berpotensi muncul di KPPS. "Kalau pengamatan saya, komunikasi antara ketua KPPS dan anggotanya tidak ada masalah. Karena ketua KPPS kan berasal dari warga mereka, dari lingkungan dan keanggotaannya pun adalah orang-orang sepermainan atau orang yang sudah akrab, jadi tidak ada masalah. Jadi ketua KPPS ditunjuk oleh ketua RT dan juga dipilih oleh warga," jelas pria yang mengenyam jenjang magister hukum dari Universitas Gajah Mada.

Sebaliknya, Eman justru melihat hambatan komunikasi atau masalah komunikasi muncul antara KPPS dengan kecamatan, dan KPUD masing-masing. Ia melihat masalah cara berkomunikasi yang belum sepenuhnya dua arah. "Saya sih menekankan kepada KPUD-nya yah. Antara KPUD dengan ketua KPPS menurut saya komunikasinya harus yang egaliter, jadi komunikasi yang horisontal bukan vertikal. Karena ketua KPPS maupun anggota KPPS itu bukan anak buahnya komisioner KPU. Dan bukan staf dari KPU dan KPUD. Itu mindset yang harus tertanam di benak KPU, mereka adalah mitra yang pegang peranan penting," jelasnya. 

Eman menyarankan bahwa penting ada pertemuan rutin--misalnya tiga bulanan--,untuk melakukan sosialisasi tentang pemilu. Pertemuan ini juga digelar dengan gaya komunikasi yang dua arah atau egaliter. Petugas KPPS sebagai mitra KPU diberikan ruang untuk memberikan saran kepada KPU. Itulah alasan Eman menyarankan agar petugas KPPS dibentuk minimal setahun sebelumnya dan tidak dibubarkan setelahnya, sebab membangun budaya komunikasi yang egaliter itu sendiri membutuhkan waktu dan pembiasaan. 

"Nah daripada melakukan sosialisasi ke berbagai daerah dengan biaya yang mahal, alangkah bagusnya satu tahun sebelum pencoblosan itu KPPS dibentuk lebih awal. Lalu, KPUD merangkul mereka yang calon KPPS lalu melakukan sosialisasi. Termasuk memberikan gambaran akan berat ringannya pekerjaan nanti. Jadi biarlah anggota KPPS itu yang akan menerangkan ke masyarakat sosialisasi tata cara pemilihan. Jadi biaya konsumsinya lebih baik dipakai buat mereka adakan pertemuan. Termasuk kalau ada anggaran transportnya, berikanlah kepada anggota KPPS jauh-jauh hari. Itu menurut saya," papar salah satu Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia 2016-2019 ini.

Memanfaatkan teknologi sebagai sarana komunikasi

Eman juga menjelaskan bahwa sarana komunikasi pada dasarnya dapat menggunakan teknologi informasi yang bentuknya paling sederhana dan memasyarakat, contohnya telepon selular atau handphone. "Misalnya Whatsapp dan SMS, kalau e-mail kan jarang masyarakat buat e-mail. Biasanya ketua KPPS itu adalah tokoh masyarakat, rata-rata mereka tidak ada gap (hambatan) dengan teknologi informasi. Sarana komunikasinya bisa memanfaatkan teknologi yang sudah ada seperti Whatsapp, SMS, ya yang berbasis telepon selular," rinci Eman yang pernah mendapatkan beasiswa non-gelar bidang sosial ekonomi dalam program SIF ASEAN Fellowship Student di National University of Singapore pada 1994. 

Tetapi Eman mengingatkan ada hal yang wajib dilakukan yaitu komunikasi tatap muka. Komunikasi tatap muka berupa pertemuan rutin bertujuan untuk membangun kedekatan emosi dan 'chemistry' sebab dua hal ini menjadi modal penting agar terbangun kesepahaman antara KPU dan KPPS. "Jadi nanti akan terbangun trust (kepercayaan). Jika ada trust maka komunikasi yang akan terbangun adalah komunikasi dua arah. Sedangkan saat ini saya lihat masih satu arah dari KPUD ke KPPS," kritisinya. 

Model komunikasi apa yang paling tepat untuk pemilu di Indonesia?

Model komunikasi yang tepat menurut Eman untuk pemilu adalah model komunikasi interaksi. Ia menjelaskan faktor yang diutamakan dalam model komunikasi interaksi adalah kejujuran, profesionalitas, moral, integritas, dan transparansi. Ia meyakini bahwa faktor-faktor inilah cara tercepat untuk menumbuhkan kepercayaan. 

Faktor yang diutamakan dalam model komunikasi interaksi adalah kejujuran, profesionalitas, moral, integritas, dan transparansi.

 

Dosen yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Universitas Brawijaya ini memandang bahwa kepercayaan yang tumbuh dari masyarakat akan mengikis hambatan komunikasi, meskipun tidak akan menghilangkan seluruh hambatan komunikasi. Tetapi, menurutnya, dengan kepercayaan itulah manajemen komunikasi akan menghasilkan komunikasi yang tepat sasaran, efektif dan efisien. 

"KPU dalam menjalankan pekerjaannya butuh masyarakat, maka KPU menerapkan model komunikasi interaksi maknanya adalah komunikasi dua arah, ada feedback-nya (timbal balik komunikasi), jadi KPU harus mendengar suara anggota KPPS," harap Eman menutup analisisnya.