Ini Penjelasan Volkanolog ITB soal Tsunami di Selat Sunda

Ini Penjelasan Volkanolog ITB soal Tsunami di Selat Sunda Proses evakuasi pascatsunami di Selat Sunda, Sabtu (22/12) malam. (Foto: Ist)

BANDUNG - Volkanolog Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Mirzam Abdurrachman menyampaikan pandangannya terkait tsunami yang terjadi di Selat Sunda, Sabtu (22/12) malam.

Mirzam dalam siaran pers Humas ITB mengatakan, gelombang tsunami yang mencapai garis pantai tanpa didahului gempa atau surutnya muka laut diakuinya menimbulkan pertanyaan.

"Apakah gempa tektonik, pasang purnama, letusan Anak Krakatau atau bahkan tumbukan meteor di tempat tertentu," kata Mirzam di Bandung, Senin (24/12).

Dia mengakui, aktivitas Anak Gunung Krakatau terus menggeliat dan lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Letusan besar terjadi, Minggu (23/12) pukul 18.00 dan terus berlanjut hingga pagi tadi dan terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 kilometer arah timur laut.

"Suatu gunung yang terletak di tengah laut seperti halnya Anak Krakatau atau yang berada di pinggir pantai, sewaktu-waktu sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami," ungkapnya.

Menurutnya,  volcanogenis tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api. Sedikitnya ada empat mekanisme yang dapat menyebabkan volcanogenic tsunami.

Pertama, kolapsnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut. Mudahnya, kata dia, seperti meletuskan balon pelampung di dalam kolam yang menyebabkan riak air di sekitarnya.

Kedua, pembentukan kaldera karena letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan kesetimbangan volume air secara tiba-tiba. "Menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membalikkannya adalah analogi pembentukan kaldera gunung api di laut," ujarnya.

Mekanisme pertama dan kedua pernah terjadi pada letusan Krakatau Purba, 26-27 Agustus 1883. Tsunami yang terjadi pun didahului turunnya muka laut sebelum gelombang tinggi masuk ke daratan.

Ketiga, longsor dan material gunung api. Kondisi tersebut dapat menyebabkan perubahan volume air disekitarnya. Menurutnya, tsunami karena longsor material gunung api pernah terjadi di Mt Unzen Jepang 1972.

Saat itu, kata dia, banyak menelan korban jiwa yang jumlahnya mencapai 15.000 orang. Pasalnya, terjadi bersamaan dengan gelombang pasang.

Keempat, aliran piroklastik atau wedus gembel yamg menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi. Kondisi tersbeut secara otomatis mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai.

"Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Mt Pelee, Martinique meletus 8 Mei 1902. Saat aliran piroklastik Mt Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami," ungkapnya.

Dia menambahkan volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya.

Meski begitu, daya rusak yang dihasilkan sangat berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut. Persis, kata dia, seperti yang terjadi di Selat Sunda. (Ant)