Lipsus: Analisis Manajemen Komunikasi untuk Pemilu

Lipsus: Analisis Manajemen Komunikasi untuk  Pemilu Eman Sulaeman Nasim pengamat dan pengajar bidang komunikasi. (Foto: Rina Suci )

Hambatan komunikasi

Menurut Eman, hambatan komunikasi pasti akan terjadi tetapi pada dasarnya hambatan itu tidak berpotensi muncul di KPPS. "Kalau pengamatan saya, komunikasi antara ketua KPPS dan anggotanya tidak ada masalah. Karena ketua KPPS kan berasal dari warga mereka, dari lingkungan dan keanggotaannya pun adalah orang-orang sepermainan atau orang yang sudah akrab, jadi tidak ada masalah. Jadi ketua KPPS ditunjuk oleh ketua RT dan juga dipilih oleh warga," jelas pria yang mengenyam jenjang magister hukum dari Universitas Gajah Mada.

Sebaliknya, Eman justru melihat hambatan komunikasi atau masalah komunikasi muncul antara KPPS dengan kecamatan, dan KPUD masing-masing. Ia melihat masalah cara berkomunikasi yang belum sepenuhnya dua arah. "Saya sih menekankan kepada KPUD-nya yah. Antara KPUD dengan ketua KPPS menurut saya komunikasinya harus yang egaliter, jadi komunikasi yang horisontal bukan vertikal. Karena ketua KPPS maupun anggota KPPS itu bukan anak buahnya komisioner KPU. Dan bukan staf dari KPU dan KPUD. Itu mindset yang harus tertanam di benak KPU, mereka adalah mitra yang pegang peranan penting," jelasnya. 

Eman menyarankan bahwa penting ada pertemuan rutin--misalnya tiga bulanan--,untuk melakukan sosialisasi tentang pemilu. Pertemuan ini juga digelar dengan gaya komunikasi yang dua arah atau egaliter. Petugas KPPS sebagai mitra KPU diberikan ruang untuk memberikan saran kepada KPU. Itulah alasan Eman menyarankan agar petugas KPPS dibentuk minimal setahun sebelumnya dan tidak dibubarkan setelahnya, sebab membangun budaya komunikasi yang egaliter itu sendiri membutuhkan waktu dan pembiasaan. 

"Nah daripada melakukan sosialisasi ke berbagai daerah dengan biaya yang mahal, alangkah bagusnya satu tahun sebelum pencoblosan itu KPPS dibentuk lebih awal. Lalu, KPUD merangkul mereka yang calon KPPS lalu melakukan sosialisasi. Termasuk memberikan gambaran akan berat ringannya pekerjaan nanti. Jadi biarlah anggota KPPS itu yang akan menerangkan ke masyarakat sosialisasi tata cara pemilihan. Jadi biaya konsumsinya lebih baik dipakai buat mereka adakan pertemuan. Termasuk kalau ada anggaran transportnya, berikanlah kepada anggota KPPS jauh-jauh hari. Itu menurut saya," papar salah satu Ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia 2016-2019 ini.

Memanfaatkan teknologi sebagai sarana komunikasi

Eman juga menjelaskan bahwa sarana komunikasi pada dasarnya dapat menggunakan teknologi informasi yang bentuknya paling sederhana dan memasyarakat, contohnya telepon selular atau handphone. "Misalnya Whatsapp dan SMS, kalau e-mail kan jarang masyarakat buat e-mail. Biasanya ketua KPPS itu adalah tokoh masyarakat, rata-rata mereka tidak ada gap (hambatan) dengan teknologi informasi. Sarana komunikasinya bisa memanfaatkan teknologi yang sudah ada seperti Whatsapp, SMS, ya yang berbasis telepon selular," rinci Eman yang pernah mendapatkan beasiswa non-gelar bidang sosial ekonomi dalam program SIF ASEAN Fellowship Student di National University of Singapore pada 1994. 

Tetapi Eman mengingatkan ada hal yang wajib dilakukan yaitu komunikasi tatap muka. Komunikasi tatap muka berupa pertemuan rutin bertujuan untuk membangun kedekatan emosi dan 'chemistry' sebab dua hal ini menjadi modal penting agar terbangun kesepahaman antara KPU dan KPPS. "Jadi nanti akan terbangun trust (kepercayaan). Jika ada trust maka komunikasi yang akan terbangun adalah komunikasi dua arah. Sedangkan saat ini saya lihat masih satu arah dari KPUD ke KPPS," kritisinya. 

Model komunikasi apa yang paling tepat untuk pemilu di Indonesia?

Model komunikasi yang tepat menurut Eman untuk pemilu adalah model komunikasi interaksi. Ia menjelaskan faktor yang diutamakan dalam model komunikasi interaksi adalah kejujuran, profesionalitas, moral, integritas, dan transparansi. Ia meyakini bahwa faktor-faktor inilah cara tercepat untuk menumbuhkan kepercayaan. 

Faktor yang diutamakan dalam model komunikasi interaksi adalah kejujuran, profesionalitas, moral, integritas, dan transparansi.

 

Dosen yang sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Universitas Brawijaya ini memandang bahwa kepercayaan yang tumbuh dari masyarakat akan mengikis hambatan komunikasi, meskipun tidak akan menghilangkan seluruh hambatan komunikasi. Tetapi, menurutnya, dengan kepercayaan itulah manajemen komunikasi akan menghasilkan komunikasi yang tepat sasaran, efektif dan efisien. 

"KPU dalam menjalankan pekerjaannya butuh masyarakat, maka KPU menerapkan model komunikasi interaksi maknanya adalah komunikasi dua arah, ada feedback-nya (timbal balik komunikasi), jadi KPU harus mendengar suara anggota KPPS," harap Eman menutup analisisnya.